Sabtu, 11 September 2010

KESATUAN DAN PERBEDAAN DALAM KEKERISTENAN MULA-MULA

Fajar Yehuda
Judul artikel: Kesatuan dan perbedaan dalam kekeristenan mula-mula
7 September 2010
Dikutip dari buku Merekayasa Yesus, membongkar pemutarbalikanInjil oleh Ilmuwan modern
Karya Craig A. Evans, hal. 235-243 (dengan ditambahkan sub-judul)



APAKAH ORANG KAFIR (NON-YAHUDI) HARUS MENJADI PENTOBAT YAHUDI ?

Generasi pertama orang Kristen disatukan oleh keyakinan inti bahwa Yesus-Sang Mesias Israel dan Anak Allah-telah mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia dan bahwa pada hari ketiga Ia telah bangkit. Namun ada beberapa perbedaan berkaitan dengan pertanyaan tentang validitas dan penerapan hokum Musa, entah bagi orang Yahudi maupun non-Yahudi. Masalah yang sulit ini tidak pernah diselesaikan dengan tuntas dan akhirnya menuntut pada merosotnya jumlah orang Yahudi di gereja, yang mengaibatkan pemisahan secara permanen dalam gereja.

Tulisan Perjanjian Baru tidak ragu untuk menunjukkan perselisihan pribadi dimuka umum. Meskipun penulis kitab Injil Lukas berusaha keras menggambarkan kesatuan Kristen, perselisihan di antara generasi pertama gereja mudah dilihat dalam kitab Kisah Para Rasul. Perselisihan itu tidak berfokus pada Yesus sendiri. Ia juga dipandang sebagai Mesias Israel, Anak Allah, dan Juruselamat dunia oleh para pengikut-Nya (Yahudi maupun non-Yahudi). Poin perselisihan itu berpangkal pada apakah orang non-Yahudi (atau orang kafir) harus menjadi proselit (atau petobat) Yahudi agar selanjutnya bisa diselamatkan oleh Yesus Mesias. Beberapa berkata ya; beberapa tidak.

Perdebatan ini disingkapkan dalam kitab Kisah Para Rasul dan disinggung di beberapa tempat dalam tulisan Paulus. Hal ini tidak mengejutkan, karena misi Paulus kepada orang non-Yahudi-Yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul dan disebutkan dari waktu ke waktu dalam surat-suratnya-merupakan faktor penyumbang utama.

Dalam Kisah Para Rasul, indikasi pertama munculnya perdebatan itu terlihat melalui penyebutan tersebarnya gerakan Kristen di Samaria, Filipus, seorang diaken, bukan rasul-mulai memberitakan Yesus Kristus Sang Mesias kepada orang-orang Samaria. Banyak orang percaya dan dibaptis (Kis.8:1-13). “Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar bahwa tanah Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ. Setibanya di situ, kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang Samaria itu beroleh Roh Kudus” (Kis. 8:14-15). Bagi Lukas, penerimaan Roh Kudus memberikan bukti nyata tentang pertobatan yang murni.

Kita sekali lagi melihat hal ini, dua pasal berikutnya, dalam kisah pertobatan Kornelius pasukan Romawi. Petrus memberitakan pesan Kristen kepada orang ini: “Dan kami adalah saksi bagi semua yang dilakukan [Yesus]…. Allah membangkitkan Dia pada hari ketiga…. Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya” (Kis. 10:39-40, 43). Kornelius dan seisi rumah tangganya percaya pada apa yang dikatakan Petrus, sebab sementara Petrus sedang berbicara, “Roh Kudus turun ke atas semua orang yang mendengar firman itu” (ayat 44). Orang-orang percaya Yahudi yang menyertai Petrus “tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga.” (ayat 45). Kemudian Petrus memerintahkan para petobat baru itu untuk dibaptis (ayat 47-48).

Kisah Para Rasul menunjukkan tersebarnya pesan Kristen kepada orang Samaria (dipandang orang Yahudi, kurang lebih, sebagai separuh Yahudi, separuh kafir) dan kepada orang kafir. Setiap kali wakil dari Yerusalem mengamati dan meneguhkan realitas pertobatan mereka. Mengapa? Pengamatan dan peneguhan dibutuhkan karena banyak orang percaya Yahudi berpikir bahwa orang kafir tidak bisa menjadi orang percaya kecuali pertobatan mereka mencakup penerimaan Yudaisme/agama Yahudi (yaitu, menjadi proselit). Tentu saja, dalam mengisahkan cerita ini, Lukas mempersiapkan pelayaan Paulus untuk menunjukkan bahwa penginjilan yang dilakukan Paulus kepada orang-orang kafir bukan hanya sah, melainkan sungguh-sungguh mengikuti contoh Petrus sendiri, sebagai pemimpin gereja.



SIDANG PERDANA DI YERUSALEM

Gereja mengadakan sidang di Yerusalem untuk membahas perkembangan yang mengganggu ini. Petrus dan yang lain dituduh oleh beberapa pemimpin, yang bertanya: “Mengapa kamu mendatangi (orang kafir) dan makan bersama mereka?” (Kis.11:3). Hal ini mungkin kedengaran aneh bagi kita orang modern, tetapi bagi orang Yahudi abad pertama yang memerhatikan hukum Musa dengan serius, pertanyaan ini penting. Belum berapa lama saat itu orang-orang Yahudi harus menghadapi tekanan yang berat, yang dirancang untuk memaksa mereka makan dan hidup seperti orang kafir. Pada abad kedua sebelum Masehi (SM) orang Yahudi yang saleh (“martir Makabean”) menderita penyiksaan dan eksekusi karena menolak makan babi (2 Makabe 6-7). Makan babi dan mengadopsi kebudayaan kafir dipahami sebagai meninggalkan iman dan hokum Yahudi.

Jadi bagaimana, Petrus, yang memimpin gereka Yesus, gerakan yang akhirnya akan menebus dan memulihkan Israel, bisa masuk ke rumah orang kafir dan makan makanan yang dihidangkan di depan mereka? Pertanyaan bagus. Pertanyaan ini dijawab dengan menceritakan bagaimana Roh Kudus Allah tercurah atas orang-orang kafir yang percaya kepada Yesus (Kis. 11:4-18). Logika yang tidak dinyatakan tetapi tersirat dari pernyataan ini cukup jelas. Jika Allah bisa hidup bersama orang kafir (yang tidak mengikuti peraturan makan Yahudi), tentu saja Petrus dan orang percaya Yahudi lainnya juga bisa. Pertanyaan yang lebih besar belum terjawab sepenuhnya, tetapi untuk saat itu, orang-orang percaya Yahudi tampaknya merasa puas.

Tak lama setelah itu, dalam Kisah Para Rasul, Paulus diutus untuk membawa pesan Kristen ke luar daerah. Dalam Kisah 13-14, kita membaca tentang kisah perjalanan missionarisnya pertama yang terkenal. Meskipun pertama ia masuk ke sinagoga di setiap kota yang ia kunjungi bersama teman-teman seperjalanannya (“kepada orang Yahudi terlebih dahulu”), ketika ditolak ia berpaling kepada orang-orang kafir (“kemudian kepada orang-orang Yunani”). Paulus tidak menuntut para petobat kafir untuk mengadopsi kebiasaan Yahudi atau menjadi anggota proselit Yahudi sepenuhnya. Hal ini menyebabkan diadakannya siding Yerusalem berikutnya, yang dikisahkan dalam Kisah 15. Disinilah bagaimana cerita itu berjalan.

Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara disitu: “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.” Tetapi Paulus dan barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu. Mereka diantarkan oleh jemaat sampai ke luar kota, lalu mereka berjalan melalui Fenisia dan Samaria, dan di tempat-tempat itu mereka menceritakan tentang pertobatan orang-orang yang tidak mengenal Allah [kafir]. Hal itu sangat menggembirakan hati saudara-saudara disitu. Setibanya di Yerusalem mereka disambut oleh jemaat dan oleh rasul-rasul dan penatua-penatua, lalu mereka menceritakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka. Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: “Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hokum Musa.” (Kis.15:1-5)

Beberapa orang saat ini dibingungkan dengan posisi orang Farisi. Saya sama sekali tidak bingung, hal itu masuk akal. Sesungguhnya, pergumulan disini merupakan pergumulan yang sama seperti dinyatakan selama pelayanan Yesus. Orang-orang Farisi mengkritik karena dari sudut pandang mereka, Yesus tampaknya tidak menjalankan peraturan Sabat Yahudi secara serius. Sesungguhnya, Ia seringkali makan bersama orang berdosa. Sebagai Mesias Israel, demikian penalaran mereka, Yesus seharusnya menjalankan hokum Musa dengan setia dan lebih teliti, hokum yang untuknya banyak orang Yahudi yang saleh mau menyerahkan hidup mereka. Tentu saja Yesus menjawab kritikan tajam ini, dengan menunjukkan bahwa orang sakitlah yang memerlukan tabib (jadi menyiratkan bahwa orang berdosa, yang dengannya Ia bersekutu, sungguh-sungguh adalah orang berdosa) dan apa yang mencemari seseorang adalah apa yang keluar dari hatinya, bukan apa yang masuk dalam perutnya (Mrk. 2:15-16; 7:14-23). Berkaitan dengan halmemetik bulir-bulir gandum dan memakannya pada hari Sabat, bukankah Daud dan pengikutnya makan roti persembahan pada hari Sabat? Jadi, mengapa Yesus dan murid-murid-Nya tidak boleh mengikuti apa yang terjadi dalam Alkitab sebelumnya? Dan bukankah “Anak Manusia” (yang menerima otoritas surgawi) adalah Tuhan atas hari Sabat? (Mrk. 2:23-28).

Jawaban semacam itu, didukung dengan peristiwa Paskah yang terkenal, tampaknya memuaskan beberapa orang Farisi, yang pada saat itu bergabung dengan gerakan Kristen. Hal ini tidak mengejutkan, karena mereka dikenal dengan keyakinan mereka akan kebangkitan (Kis. 23:6-8; Yosephus, Jewish War 2.163). Mesias yang dibangkitkan adalah sesuatu yang sangat menarik bagi kebanyakan mereka. Namun mereka masih merupakan orang Farisi, dan berdasarkan definisinya, berarti mereka melaksanakan hukum Musa dengan serius. Jadi, bagaimana orang kafir, yang tidak melaksanakan hokum dan tampaknya tidak berencana untuk menjadi proselit Yahudi, ingin bergabung dengan gerakan ini? Tentu saja hal ini tidak benar, demikian penalaran mereka. Yesus mungkin pernah makan bersama orang berdosa (paling tidak Ia memandang mereka sebagai orang berdosa!), tetapi mereka disunat dan paling tidak mereka berada di pinggir perbatasan hukum Musa. Namun bagaimana dengan orang kafir yang masuk komunitas Mesias?

Kontroversi yang dibahas dalam siding di Yerusalem, dan dijelaskan dalam Kisah Para Rasul 15, merupakan masalah yang memecah belah gereja mula-mula. Meskipus keputusan yang dicapai memeberikan kesan bahwa Paulus dan pendukung misi kepada bangsa-bangsa lain diberi kelonggaran, problem itu belum sepenuhnya selesai dan tidak pernah menyingkir. Namun, bagaimanapun juga, jika gereja tetap terbagi berdasarkan pertanyaan tentang seberapa jauh orang percaya dari bangsa lain menjadi Yahudi, adakah pembenaran untuk berbicara tentang beberapa “kekeristenan” pada abad pertama? Saya kira tidak demikian.


DARI KEGELAPAN, MASUK KE DALAM TERANG KRISTUS

Dalam Kisah Para Rasul 11, Petrus berbicara dan menyelesaikan masalah itu. Ya, orang kafir juga bisa diselamatkan oleh Yesus Mesias. Nah, di sini dalam Kisah Para Rasul 15, Yakobus saudara Yesus berbicara. Tidak, orang percaya dari bangsa lain tidak perlu menjadi proselit Yahudi. Namun, sebagai orang yang percaya kepada Allah dan Anak-Nya yang kudus, orang-orang kafir harus meninggalkan praktik kafir. Nasihat Yakobus diterima dan problem itu, paling tidak untuk saat itu, tampaknya terselesaikan.

Perlu dicatat bahwa rekomendasi Yakobus bukanlah pengesahan hukum Taurat Perjanjian Lama (entah hukum pra-Abraham yang berkaitan dengan Nuh, atau hukum Taurat Musa). Sebaliknya, hal itu adalah perintah bahwa orang kafir yang bertobat pada iman tidak melanjutkan cara hidup kafir mereka. Yakobus diingat mengatakan:

Sebab itu aku berpendapat, bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah, tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan ditiap-tiap kota, dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat.” (Kis. 15:19-21).

Tiga hal penting perlu digaris bawahi. Pertama, Yakobus berkata bahwa “kita [orang percaya Yahudi] tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah,” yaitu orang yang bertobat dan percaya kepada Yesus Mesias. “Tidak menimbulkan kesulitan” atinya orang dari bangsa lain tidak dituntut untuk menjadi proselit Yahudi sebagai bagian dari pertobatan kepada iman mesianik. Hal ini juga merupakan posisi Paulus, seperti terlihat dalam Galatia 2:11-14, di mana Paulus dengan tajam mengkritik Petrus atas sikapnya yang tidak konsisten dan munafik berkaitan dengan orang-orang percaya dari bangsa lain.

Kedua, Yakobus menyuruh orang-orang percaya dari bangsa lain untuk menjauhkan diri dari sikap tidak bermoral dan penyembahan berhala, satu hal yang biasa dalam gaya hidup dan praktik agama kafir. Berpaling kepada Allah berarti berpaling dari kekafiran. Bagian dari perintah yang berkaitan yang berkaitan dengan penyembahan berhala dan makanan: “menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala… dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.” Ini juga merupakan posisi Paulus, seperti ia nyatakan ketika diperhadapankan dengan masalah ini dalam jemaat Korintus (1 Kor. 8:7-13 10:7-8, 14-28), yang sebagian berbunyi:

Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. (1 Kor. 5:11)

Karena apabila orang melihat engkau yang mempunyai “pengetahuan”,sedang duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan untuk makan daging persembahan berhala? Dengan jalan demikian orang yang lemah, yaitu saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati, menjadi binasa karena “pengetahuan”mu. (1 Kor.8:10-11)

Jangan kita menjadi penyembah-penyembah berhala… Janganlah kita melakukan percabulan…. Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, jauhilah penyembahan berhala! (1 Kor. 10:7-8, 14)

Dan akhirnya perintah Yakobus agar orang percaya dari bangsa lain menjauhan diri “dari percabulan.” Sekali lagi, Paulus sepenuhnya satuju dengan rekomendasi itu:

Karena inilah kehendak Allah pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan. (1 Tes. 4:3)

Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. (1 Kor. 5:9)

Tubuh bukanlah untuk percabulan. (1 Kor. 6: 13)

Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. (1 Kor 6: 18)

Janganlah kita melakukan percabulan, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka. (1 Kor.10:8)

Pada beberapa perintah dan larangan Paulus, ia juga menggabungkan penyembahan berhala, percabulan, dan makanan, seperti dilakukan Yakobus dalam suratnya yang berisi hasil Sidang.

Ketiga, Yakobus berkata bahwa “sejak zaman dahulu, hukum Musa” telah diberitakan “di tiap-tiap kota”, dan “dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat”. Maksud Yakobus adalah orang-orang dari bangsa lain yang berpaling kepada Allah dan percaya kepada Mesias sesungguhnya sudah tahu bahwa praktik kafir, seperti penyembahan berhala, dan percabulan (termasuk pelacur di kuil suci), itu salah dan tercela. Mereka telah mendengar dasar-dasar hukum Musa, bahkan sekalipun mereka tidak sering mengunjungi rumah-rumah ibadah lokal. Perintah untuk menjauhkan diri dari praktik semacam itu bukanlah hal yang mengejutkan.

Secara ringkas, kita menemukan bahwa perselisihan utama dalam gereja mula-mula berkaitan dengan pertanyaan tentang hukum Yahudi dan orang percaya dari bangsa lain. Apakah mereka diharuskan untuk menaati hal itu? Jika ya, seberapa banyak darinya? Yakobus maupun Yakobus pada dasarnya memperlihatkan posisi yang sama. Orang-orang dari bangsa lain (non-Yahudi) tidak perlu mengadopsi hukum Yahudi atau menjadi proselit Yahudi, tetapi mereka harus menjauhkan diri dari percabulan dan penyembahan berhala yang biasanya dilakukan orang kafir.